Di era globalisasi ekonomi, di zaman modern saat ini, tentu kita tidak bisa menolak dan terhindar dari pengaruh perdagangan internasional. Sudah banyak perusahaan asing yang masuk menguasai berbagai bidang di Indonesia, tapi Indonesia tetap saja masih tertinggal dari negara-negara tetangganya.
Investasi asing atau beralihnya kepemilikan perusahaan lokal menjadi milik asing itu sebenarnya tidak menjadi masalah, karena ada dampak positif yang dirasakan seperti bertambahnya lapangan pekerjaan, jumlah pajak yang diterima pemerintah serta dapat menumbuhkan perekonomian nasional. Yang menjadi persoalan bukanlah menolak perdagangan global ataupun menolak perusahaan asing berinvestasi di Indonesia, permasalahan sebenarnya adalah bagaimana bisa perusahaan asing itu menguasai begitu luas pasar di Indonesia sementara kita hanya menjadi penonton. Jika sejak awal perusahaan-perusahaan asing menanamkan modal lewat PMA (Penanam Modal Asing) dengan ketentuan pembatasan saham dan bidang-bidang mana saja yang boleh dan tidak boleh digarap barangkali tidak menjadi masalah. Tapi ini tak demikian, perusahaan asing itu telah membeli (saham mayoritas) perusahaan lokal.
Seperti halnya pemilik Rokok Sampoerna yang menjual 40 persen sahamnya senilai Rp 18,50 triliun kepada Philip Morris (Pemegang Rokok Marlboro) asal Amerika Serikat. Selanjutnya, Philip Morris memenangkan 97 persen saham PT HM Sampoerna senilai Rp 45,066 triliun melalui penawaran tender. (Kompas, 19 Mei 2005)
Ibarat jual beli perusahaan, tak peduli nasionalisme, tak peduli perusahaan itu jatuh ke tangan asing. Begitulah cara berpikir pedagang (pengusaha) selalu mencari untung. Celakanya cara berpikir (mental) pedagang itu telah diadopsi mentah-mentah oleh para birokrat serta para pengelola negeri ini (seperti pejabat pemerintah dan legislatif) terutama pemegang otoritas perusahaan-perusahaan negara atau BUMN. Cara-cara pengusaha swasta lokal yang menjual perusahaannya ke tangan asing atau melepas saham pemerintah di BUMN ke pihak asing, sebetulnya bisa saja diproteksi. Caranya melalui produk hukum yang ketat dengan batas-batas kepemilikan saham perusahaan asing.
Kondisi ketidakmampuan terhadap pihak asing diakibatkan oleh lemahnya hukum (produk hukum) berupa undang-undang atau perangkat peraturan yang pada kenyataannya dapat dibuat sesuai pesanan pihak asing. Tentu saja yang menjadi agennya adalah para birokrat dan anggota legislatif yang membuat undang-undang, karena dari tangan-tangan merekalah undang-undang yang memperbolehkan kepemilikan asing itu diterbitkan. Peraturan Pemerintah No.20 tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Pada Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perusahaan asing atau badan hukum asing boleh memiliki seluruh modal (saham) perusahaan di Indonesia.
Kasus pembuatan amandemen UU No.3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia pada tahun 2008. Pejabat BI menggelontorkan dana Rp 31,5 milyar untuk menyuap beberapa anggota DPR Komisi IX. Kasus ini terkuak setelah diadilinya anggota DPR Komisi IX Hamka Yandhu yang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan diadili di pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). (Koran Tempo, 7 Juli 2008)
Pengakuan John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man membuka mata sekaligus membuktikan bahwa pihak asing ternyata ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah kita. Perkins menjelaskan bagaimana keterlibatan asing yang terlalu jauh dalam perekonomian nasional. Dirinya juga berperan sebagai agen perusak ekonomi yang beroperasi di Indonesia untuk menjadikan ekonomi Indonesia bergantung dan dikuasai asing dengan berkedok sebagai konsultan pemerintah. Ada konspirasi yang melibatkan lembaga-lembaga internasional yang selama ini kita percayai akan membantu kita keluar dari krisis ekonomi. Kerusakan yang diarahkan oleh para agen perusak ekonomi sangat luar biasa. Negara kita jadi terlilit utang, rakyatnya kurang sejahtera, karena terlalu bergantung kepada impor sehingga menjauhkan Indonesia untuk menjadi bangsa modern yang mandiri.
Referensi:
Alam, Wawan Tunggul. 2011. Freeport Papua Blok Cepu Gas Alam Arun. Jakarta: Ufuk Press.
Comments
Post a Comment