Indonesia adalah negara penghasil minyak. Tambang minyak membentang mulai dari Aceh, Riau, Palembang, Indramayu, Cilacap, Cepu, hingga wilayah Indonesia bagian timur. Melimpahnya sumber minyak ini belum bisa dimaksimalkan penggunaannya sehingga Indonesia masih saja mengalami krisis Migas. Bukan tidak adanya kandungan minyak yang menjadi penyebab krisis Migas ini terjadi, melainkan karena kurangnya dukungan dan keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan dalam negeri. Dalam pengelolaan Migas, pemerintah kurang berpihak kepada operator dalam negeri, ladang-ladang Migas lebih banyak dikelola oleh pihak asing. Contoh nyata yang terjadi baru-baru ini, pengelolaan Blok Cepu yang diserahkan kepada ExxonMobil.
Dari sisi kemampuan teknologi dan sumberdaya manusia, bangsa Indonesia tentu mampu mengelola Blok Cepu, sebagaimana disampaikan oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dan Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI). Diserahkannya Blok Cepu kepada ExxonMobil sebagai operator, tentunya berpengaruh terhadap Indonesia yang semestinya dapat memaksimalkan potensi penerimaan. Jika dilihat sepintas, bagi hasil 85:15 seolah-olah sangat menguntungkan negara, dengan total split yang diterima negara 93,25%. Namun bagi hasil riil untuk negara, yaitu Pemerintah, Pertamina dan Pemda sangat tergantung pada berapa nilai dasar yang dibagihasilkan. Nilai dasar akan jauh berkurang jika cost recovery yang diklaim operator terlalu besar.
Bahkan biaya yang dikeluarkan oleh kantor pusat di luar negeri pun bisa dibebankan karena tidak adanya batasan terhadap jenis biaya yang bisa dibebankan (Deductible Expenses).
Sebagai contoh, untuk pengeboran 3 sumur, menurut hitungan IAGI dan HAGI, biaya maksimal berkisar US$ 60-70 juta sudah termasuk eksplorasi 3 sumur, survei, dan pembebasan lahan. Pertamina sendiri menyebutkan biaya sekitar US$ 100 juta. Namun biaya yang diklaim oleh operator ternyata mencapai lebih dari US$ 340 juta. Ada potensi kelebihan biaya jika dibandingkan dengan Pertamina sebagai operatornya. Jika pajak migas ditetapkan 44% (pajak ditanggung pemerintah) dan klaim biaya eksplorasi US$ 340 juta, asumsi produk dari 3 sumur diatas sekitar 36,7 juta barel, maka bagi hasil riil yang diterima Indonesia sebenarnya hanya 54%, bukan 93,25%. Dalam 10 tahun operasi pertama Blok Cepu, diperkirakan negara kehilangan potensi penerimaan puluhan triliun. Serta kerugian ekonomi karena kontraktor asing cenderung memprioritaskan supplier, konsultan, tenaga ahli, dan industri penunjang migas dari negaranya sendiri. Angka-angka tersebut bisa berubah-ubah, tergantung asumsi dan plan of development yang digunakan.
Undang-undang migas yang ada menyebutkan bahwa kontraktor yang mengeksploitasi minyak boleh memasarkan produksinya maksimal 25% ke pasar domestik. Sisanya bisa diekspor. Ketentuan ini tidak berpihak kepada kepentingan nasional. Untunglah ketentuan pasal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi menjadi minimal 25% untuk pasar domestik. Jumlah ini pun belum dapat memenuhi kebutuhan migas industri dalam negeri. Prioritas utama pemenuhan migas dalam negeri adalah PLN, Petrokimia, transportasi, serta industri nasional atau industri dalam negeri yang menjadi prioritas keempat. Jika tidak adanya kepedulian terhadap industri nasional, dikhawatirkan industri dalam negeri tidak akan mampu bersaing.
Referensi :
Widjaja, Achmad. 2014. Jeritan Energi. Jakarta: Expose Mizan Publika.
*tugas softskills 2
Comments
Post a Comment