Banyak yang menilai bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia saat ini masih sangat rendah. Kondisi ini yang akan menjadi tantangan berat bangsa Indonesia untuk memenangkan persaingan dalam tata pergaulan global yang melampaui batas-batas regional antarbangsa. Pendidikan tinggi sebagai wahana mempersiapkan mutu SDM agar sesuai dengan tuntutan era globalisasi yang dengan sendirinya harus mampu menciptakan keunggulan daya pikir, daya nalar, kekuatan moral dan kepatuhan pada etika akademik bangsa Indonesia. Perlu segera dilakukan pergeseran paradigma pengajaran di perguruan tinggi, dari pola pengajaran yang searah menjadi arah pengajaran yang dialogis. Perlu ada perubahan tatanan pikir (mindset) yang ditandai cara berpikir nonlinear dan sistemis.
Lemahnya mutu SDM bangsa Indonesia terlihat dari beberapa Indikator, seperti pada tahun 1995 jumlah penduduk Indonesia yang mengalami buta huruf mencapai angka 14% sementara Korsel, Thailand, Filipina, Singapura, dan Srikanka berkisar antara 2-12 persen, kemampuan penguasaan iptek sampai tahun 1991 hanya 0,5 persen, sementara Taiwan 4,2 persen, Jepang dan Korsel masing-masing 6 persen.
Peringkat ketahanan SDM Indonesia tahun 1996 berdasarkan HDI (Human Development Index) yang diukur berdasarkan faktor pendidikan, umur, harapan hidup, rata-rata dan pendapatan per kapita, menempati nomor 102 dari 174 negara dengan indeks 0,641. Negara-negara ASEAN lainnya sudah masuk peringkat 30an dengan indeks rata-rata 0,885. Kondisi tenaga kerja Indonesia terdiri atas lulusan SD sebanyak 60 persen, SMP 20 persen, SMA 15 persen, dan perguruan tinggi yang hanya 5 persen. Untuk itu perlu dilakukan pengembangan terhadap universitas agar diharapkan mampu meningkatkan kualitas SDM. Perubahan teknologi dan bisnis memasuki kategori turbulensi sehingga dapat mengancam kemapanan universitas. Turbulensi menumbuhkan iklim persaingan, oleh karena itu universitas harus selalu memperbarui diri karena kemauan untuk berubah merupakan faktor penting untuk menghadapi masa depan di zaman yang semakin modern ini.
Ada sedikitnya 300 ribu sarjana baru setiap tahunnya di Indonesia, rata-rata 20% jadi pengangguran. Tingginya angka pengangguran di kalangan terdidik disebabkan oleh rendahnya keterampilan di luar kompetensi utama sebagai sarjana. Untuk menjadi lulusan yang siap kerja, keterampilan di luar bidang akademik, terutama yang berhubungan dengan kewirausahaan sangat dibutuhkan. Pada tahun 2007 jumlah wirausahawan yang tercatat sebesar 0,18% dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini tentu sangat minim. Untuk menjadi negara yang dianggap makmur, Indonesia perlu meningkatkan jumlah wirausahawan menjadi 1,1% yang memiliki penguasaan 20% hardskill dan 80% softskill. Program pendidikan keterampilan yang menunjang industri kreatif harus dikembangkan guna menekan angka pengangguran akibat kurangnya lapangan pekerjaan. Calon sarjana kini dan masa depan harus dapat berpikir bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberikan fasilitas sistem pendidikan yanb menunjang lahirnya industri kreatif. Pendidikan berbasis kompetensi menjadi sumbangan yang besar bagi calon-calon sarjana. Mahir dalam bidang tertentu seperti bahasa asing, kerajinan tangan, kesenian, dan bidang-bidang yang memicu lahirnya industri kreatif. Hal ini sangatlah bermanfaat agar selalu ada ide dalam melakukan kreativitas.
Referensi:
Soedarmanta. 2011. F.G Winarno Bapak Teknologi Pangan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
*tugas softskills 4
Comments
Post a Comment